SERIAL OPTIMISTIC PARENTING

Archive I s.d IX: SERIAL OPTIMISTIC PARENTING

Oleh Kirana PutriRoro Dwi, Hendra Wan, dan Harry Santosa di Millenial Learning Center

 

PENGANTAR

Saat saya mengikuti seminar-seminar parenting, banyak orangtua yang mengeluh,”Ternyata mendidik anak luar biasa sulit ya. Semakin saya ikuti seminar-seminar semacam ini saya jadi semakin takut dan nggak pede dalam mendidik anak”.

 

Atas dasar keluhan-keluhan ini, maka sejak 2008 di Bandung saya mengembangkan konsep “parenthood”, yaitu konsep yang mengajak orangtua untuk menggali naluri, fitrah, ilham dan hikmah keayahbundaan dari dalam diri kita sendiri sebagai karunia Allah. bukan dari luar. Karena Allah tak akan membiarkan para orangtua sendirian dalam mendidik anaknya. Saya menamakannya optimistic Parenthood

 

Ada 7 prinsip dalam Optimistic Parenthood :

 

PERTAMA : Mendidik anak itu mudah

KEDUA : Allah telah mengkaruniai naluri keayahbundaan kepada orangtua untuk mendidik anaknya sendiri

KETIGA : Anak terlahir dalam fitrah kebenaran Islam

KEEMPAT : Sesungguhnya anak hidup dalam lingkungan yang baik, karena alam semesta mayoritas berpihak pada kebenaran

KELIMA : Dalam menjalani kehidupannya, Allah melindungi anak dengan akal, nurani, fitrah, malaikat dan hidayah

KEENAM : Anak adalah makhluk kuat dan tangguh, jasmani dan ruhani, tidak serentan yang kita bayangkan

KETUJUH : Allah membekali anak dengan sistem kekebalan fisik dan moral, sesuai dengan tantangan yang dihadapinya

——————————

 

SERIAL OPTIMISTIC PARENTING i : Anak itu tak serentan yang kita bayangkan

 

Dalam sebuah kitabnya, DR. Yusuf AlQaradhawi bercerita :

 

Tahun1937, terjadi wabah malaria di seluruh dunia. Secara teoritis seharusnya manusia saat itu punah karena malaria : karena baru saja usai Perang Dunia I, obat penangkalnya belum ditemukan, kemiskinan merajalela, dan hidup manusia saat itu sangat kotor dan jorok. Namun yang terjadi adalah bahwa manusia sama sekali tak punah, dan justru malarialah yang hampir punah Penelitian para dokter tentang penyebab daya tahan manusia terhadap malaria membuat mereka terkejut : Ternyata anak-anak yang lahir saat malaria sedang mewabah memiliki antibodi bawaan yang jauh lebih hebat dibandingkan antibodi bawaan anak-anak yang lahir sebelum dan sesudah wabah malaria.

 

Lalu DR. Yusuf AlQaradhawi berkata :

 

“Dalam Islam itu bukan hal yang mengejutkan. Karena Islam mengajarkan bahwa Allah itu hidup, berdiri, mengurusi makhluq-makhluqNya. Ia tidak mengantuk dan tidak tidur. Setiap saat Dia dalam keadaan sibuk. Allah tak akan membiarkan hamba-hambaNya berjuang sendirian menghadapi kerasnya kehidupan. Allah tak akan membebani hambanya, kecuali sesuai dengan kesanggupannya”. Maka, begitu pulalah dengan anak-anak kita. Tampaknya ia begitu lemah dan tak berdaya. tampaknya ia begitu rentan, baik secara fisik maupun mental. Tapi, bukankah fakta beribu-ribu kali membuktikan : Betapa sang bocah sering lebih cerdas daripada kita, betapa mereka jatuh dari lantai tujuh dan hanya lecet-lecet saja, betapa mereka lebih tahan penyakit daripada kita yang dewasa. Tentang moralitas ? Percayakah kita bahwa Allah juga membekali mereka dengan “basic moral antibody” yang kadarnya sesuai dengan tantangan ruang dan waktu yang mereka hadapi ? Tapi, kenapa mereka masih bisa ketularan virus moralitas ? Tentu saja bisa. Jika virusnya lebih kuat daripada antibodinya, ya pasti ketularan. Jadi, mari kita optimis terhadap anak-anak kita. Kata Mas Deddy Rahman : Santai aja lah…

 

——————————————–

 

SERIAL OPTIMISTIC PARENTING II : Shaleh itu amal, kinerja !!!

 

Kalau kita bertanya kepada para ayah dan ibu Muslim : Anda menginginkan anak-anak anda menjadi anak-anak yang seperti apa ? Maka saya percaya jawabannya akan sangat kompak :

“Anak shaleeeeeh….”

Namun, jika saya kembali bertanya : “Apa ciri-ciri anak shaleh itu ?” Maka mereka akan cenderung menyebutkan indikator-indikator moral, sangat normatif, dan biasanya menggunakan kata “Tak…” :

 

Tak durhaka pada orangtua

Tak berzina

Tak berjudi

Tak mencuri

Tak membunuh

tak menggunakan narkoba

Tak meminum khamar

Tak berdusta

Tak….

Lalu, sambil sedikit menahan geregetan, sayapun bertanya lagi penuh heran : Emangnya shaleh itu moral atau amal ? Sambil sedikit terperangah dan tergagap mereka akan menjawab :

“Am… Amal Pak, Amal shaleh…”

Ya, wajar mereka tergagap dan terperangah, karena shaleh adalah amal, kinerja. Bukan moralitas. Shaleh adalah kerja, aktivitas, produktivitas, constructiveness dan kreativitas. Shaleh adalah tancap gas, namun injak rem sebelum menabrak. Shaleh adalah amal, namun harus bermoral.

Dan membentuk anak shaleh adalah adalah membentuk manusia Mu’min yang merdeka dan progresif :

  • Yang Amar ma’ruf – nahi munkar, bukan nahi mukar – amar ma’ruf
  • Yang melaksanakan perintah Allah – meninggalkan larangannya, bukan meninggalkan larangan Allah – melaksanakan perintahNya
  • Yang menegakkan AlHaq – menghancurkan AlBathil, bukan menghancurkan AlBathil – menegakkan AlHaq
  • Yang mengejar pahala – menjauhi dosa, bukan menjauhi dosa – mengejar pahala
  • Yang berlomba-lomba dalam kebajikan

 

—————————

SERIAL OPTIMISTIC PARENTING III : Datangkan kebenaran, maka kebatilan akan tersingkir

 

Dulu, saya pernah bertanya kepada guru saya, sebut saja ustadz Lembang :

 

“Ustadz, saya masih melakukan beberapa maksiat kecil. Apa yang harus saya lakukan untuk menghilangkannya ?”

 

Lalu, beliaupun menjawab sangat singkat :

 

“Sibuklah…”

 

Saya heran dengan jawaban beliau. Yang saya harapkan adalah kiat cespleng untuk membuang sebuah keburukan. Semacam teknik untuk menyingkirkan kutil di kaki : memotong lalu membuangnya.

 

Tapi akhirnya saya sadar. Menghilangkan minyak dari dalam kaleng tidak harus dengan cara membuangnya. Tapi bisa dilakukan dengan cara terus-menerus menuangkan air ke dalamnya, dan sang minyakpun akan tumpah dengan sendirinya. Karena : air tak akan bercampur dengan minyak, dan berat jenis air lebih tinggi daripada minyak.

 

Ya, bukankah Allah telah berfirman :

 

“Katakanlah : telah datang kebenaran dan telah tersingkin kebathilan. Sesungguhnya kebathilan sesuatu yang pasti tersingkir” (AlQur’an)

 

Maha Benar Allah. Kebathilan dapat dienyahkan dengan cara mendatangkan kebenaran. Lalu, biarkan kebenaran dengan caranya sendiri mendesak kebathilan masuk ke jurang. Bukankah Rasulullah SAW juga bersabda :

 

“… Dan ikutilah keburukan itu dengan kebenaran, niscaya ia (kebaikan) akan menghapusnya” (AlHadits)

 

Sejak saat itu, maka saya tak lagi disibukkan dengan upaya mengikis-ngikis keburukan pada anak-anak saya. Tapi saya lebih fokus untuk terus mengisi kebaikan-kebaikan pada diri mereka, agar kebaikan melakukan tugasnya untuk melenyapkan keburukan. Tentunya sesekali saya juga harus terjun langsung melenyapkan keburukan pada mereka. Tapi hanya sesekali.

 

Dan, bismillah, bermodal keyakinan tersebut pada tahun 2004 saya memberanikan diri mendesain sebuah metode psikoterapi baru : Positive Therapy

 

Ah… ternyata mendidik anak itu mudah…

——————————————————————

 

SERIAL OPTIMISTIC PARENTING IV : Life is (still) Beautiful

 

Benarkah hidup ini jahat, berbahaya, menjerumuskan, melenakan dan penuh kemaksiatan, sehingga kita perlu mendidik anak-anak kita untuk pasang kuda-kuda, menatap dunia dengan mata waspada, dan tangan yang senantiasa siaga menepis godaan ?

 

Di satu sisi : Ya ! Begitu banyaknya ayat dan hadits yang mengingatkan kita tentang hal ini. Dan, sejumlah hadist juga mengingatkan kita tentang fenomena akhir jaman yang penuh dengan jebakan, godaan dan marabahaya. Muslim yang baik adalah yang sadar akan hal ini, dan antisipatif dalam mengahadapinya. Intinya : dunia ini adalah negeri cobaan (daarul ibtilaa’)

 

Namun, mari kita segera sadar, setidak-tidaknya untuk dua hal : Pertama, bahwa kita diamanahkan Allah untuk menjadi khalifah di muka bumi, dan; kedua, dunia telah Allah jadikan ladang bagi kita untuk mempersiapkan kehidupan akhirat kita.

 

Kita diminta oleh agama ini untuk mendidik calon khalifah, agar anak-anak kita mampu memimpin dan mengelola dunia, bukan anak-anak yang lari terbirit-birit ketika berhadapan dengan dunia. Dan untuk itu Allah telah menundukkan untuk mereka apa-apa yang ada di langit dan di bumi (taskhiir). Ajari anak-anak kita untuk optimis terhadap dunia, sehingga mereka mampu berdo’a seperti Umar bin Khaththab ra berdoa :

 

“Ya Allah, jadikanlah dunia ini ada dalam genggaman tangan-tangan kami, dan jangan Engkau jadikan ia bersemayam di dalam hati kami”

 

Kalau toh ada peringatan Allah dan RasulNya tentang bahaya dunia, itu karena kita diminta untuk bercocok-tanam di dunia ini. Bukankah di sawah selalu ada bahaya hama tikus, wereng, banjir bandang dan sebagainya ? Tapi, peringatan atas bahaya ini jangan sampai membuat anak-anak kita takut menjadi petani.

 

Atau, kita akan melakukan kesalahan yang sama dengan media massa ? Ekspose mereka yang berlebihan terhadap derita petani dan resiko pertanian telah membuat anak-anak kita tak mau lagi kuliah di program studi pertanian…

 

Kehidupan ini selalu saja indah. Dan bagaimana dunia bersikap terhadap anak-anak kita sangat tergantung dari prasangka mereka terhadap dunia. Maka ajarilah anak-anak kita berbaik sangka terhadap dunia. Lalu ajari mereka sebuah do’a sapujagad :

 

“Wahai Rabb kami, berikanlah kepada kami kebaikan hidup di dunia, dan kebaikan hidup di akhirat. Dan selamatkanlah kami dari azab neraka”.

 

————————————————————————

 

 

SERIAL OPTIMISTIC PARENTING V : Didiklah sendiri anak kita, karena mendidik anak itu mudah

 

Setelah usai sebuah seminar di Jogja tahun 2005, tiba-tiba seorang siswi kelas 1 SMA bertanya kepada saya,”Pak, bagaimana cara menghadapi ibu saya yang sangat keras dalam membatasi pergaulan saya ?”

 

Lalu, saya bertanya balik,”Memang ibumu pekerjaannya apa ?”

 

“Pelacur Pak. Dia merasa telah salah pergaulan sehingga menjadi pelacur. Akibatnya, pergaulan saya jadi dikawal habis-habisan”

 

Saya terpana, terperangah, sekaligus kagum atas terhadap makhluq Allah yang bernama Ibu. Mereka selalu saja punya cinta tak bertepi, ketulusan tanpa batas dan harapan yang sangat besar bahwa anak-anaknya jauh lebih baik daripada dirinya. Ia, boleh jadi adalah seorang pelacur. Tapi cintanya telah memantapkan tekadnya yang tak bisa ditawar-tawar : Anakku tak boleh jadi pelacur !!!

 

Ya, ia mendidik anaknya hanya bermodal cinta…

 

Di sebuah komplek perumahan di Bekasi Timur, seorang ibu rumah tangga tamatan SMA memiliki empat anak laki-laki. dan empat orang anak shaleh. Anak-anak yang senantiasa rindu suara adzan dan rindu untuk segera hadir di mushalla. Ibu ini tak punya ilmu mendidik anak. Ia juga tak pernah ikut seminar parenting, dan tak punya dana untuk membeli buku-buku cara mendidik anak. Ia hanya punya air mata yang berlinang ketika melihat kenakalan anak-anak laki-lakinya. Lalu, dengan serta-merta anak-anaknya bersimpuh minta maaf kepadanya.

 

Ya, ia mendidik anaknya hanya bermodal air mata…

 

Ada lagi seorang ibu. Ia seorang pencemas : Ia cemas anaknya belum pulang, ia cemas anaknya belum tidur, ia cemas anaknya malas makan, ia cemas anaknya sakit. Dalam cemasnya, ia hanya berdoa sepenuh ikhlas kepada Allah,”Ya Rabbii, tolonglah anak-anakku…”. Suatu ketika si Bungsu kurus dan sering sakit-sakitan karena malas makan. Telah banyak ikhtiar yang telah ia upayakan. Tapi kali ini ia menyuapi anaknya sambil berdo’a,”Ya Rabbii… jadikanlah anakku menyukai makanan ini”. Sang anakpun sejak itu makan dengan lahapnya, dan menjadi anak yang gemuk dan sehat.

 

Ya, ia mendidik anaknya hanya bermodal cemas, ikhlas dan do’a…

 

Karena mendidik anak itu mudah… atas ijin Allah…

 

—————————————————————

 

SERIAL OPTIMISTIC PARENTING VI : Tetaplah optimis, agar harapan menjadi kenyataan

 

Sejujurnya, saya sering kewalahan dengan si Bungsu. Ia bengal !!! Sekali lagi : bengal, bukan jahat, atau kurangajar, atau brengsek, atau kriminal. Senang becanda dan ngobrol di dalam kelas. Agak cuek dengan pelajaran dan beberapa kali tak mengerjakan PR.

 

Para guru sering mengeluhkan perilakunya di dalam kelas. Apalagi ketika para guru membandingkan dengan kakak-kakaknya yang santun, pendengar yang baik, aktif di sekolah dan memiliki nilai raport bagus. Di SD, yang dikeluhkan adalah perilakunya yang suka jalan-jalan di dalam kelas.

 

Saat keluhan itu sampai, maka saya dan istri hanya bisa berkata,”Insya Allah pada saatnya itu akan berubah”

 

Tapi ternyata tidak. Saat si Bontot masuk SMP, keluhan para guru masih saja bermunculan. Kebiasaan berjalan di dalam kelas memang telah hilang. Tapi kebiasaan ngobrolnya makin menjadi-jadi. Kini, kenakalannya bertambah : sering membantah guru. Yang agak mencemaskan, semangat ritualnya juga paling rendah dibandingkan kakak-kakak. Dan saat pembagian raport, kami harus siap mendengarkan keluhan guru-gurunya.

 

Apa boleh buat, saat itu kami hanya bisa membatin,”Insya Allah suatu saat akan ada perbaikan”

 

Namun, lagi-lagi kami kecele. Di SMA, prestasi akademisnya tak kunjung bangkit. Padahal, kakak-kakaknya adalah buah bibir sekolah dalam urusan prestasi akademis maupun prestasi spiritual sekolahnya (mereka berempat selalu sekolah di SD, SMP dan SMA yang sama). Kemampuan membantahnya “meningkat” : sekarang hobby adu argumentasi berpanjang-panjang dengan gurunya. Dan itu menjengkelkan para guru.

 

Saya, sebagai anggota Komite Sekolah SMA tersebut berusaha menenangkan para guru,”Sabar Pak/Bu, mari kita tetap optimis…”

 

Saat ini dia telah kelas tiga SMA. Sejak kelas dua dia telah menjadi Wakil Ketua Rohis. Tilawah AlQur’annya sangat rajin. Malam saya sering melihatnya qiyamul lain. Semangat shalat berjama’ahnya jelas mengalahkan ayahnya. Dan dia hampir tak pernah melewatkan shaum Senin-Kamis. Kemampuan verbalnya jelas meningkat tajam (tapi sekaligus menjengkelkan), dan dia adalah leader bagi teman-temannya.

 

Suatu ketika, saya di panggil oleh Wakil Kepala Sekolah. “Ah… paling laporan keluhan tentang si Ragil lagi”, pikir saya. Namun ternyata anak saya mendapat beasiswa 3 bulan, sebagai tanda apresiasi atas jasa si Kecil atas teman-temannya.

 

“Da’wahnya terhadap teman-temannya sangat membantu sekolah”, kata Wakil Kepala Sekolah

 

Alhamdulillah. Kalau si Sulung adalah pendiri Rohis sekolah tersebut, anak ke 2 dan ke 3 menjadi pengurusnya, ternyata si Bungsu adalah Da’i-nya

 

————————————————————————

 

 

SERIAL OPTIMISTIC PARENTING VII : Jadikanlah rumah kita sebagai dapur, bukan etalase moral anak-anak kita

 

Tak ada yang paling menyedihkan ketika menyadari betapa “munafik”nya anak-anak kita. Bagaimana tidak, mereka adalah anak-anak manis di depan kita. Betapa santunnya mereka di dalam rumah. Tutur katanya begitu akhlaqi kepada ayah, ibu dan saudara-saudaranya. Bahkan auratnya nyaris tertutup rapi walau di dalam rumah.

 

Namun, apa yang terjadi di luar sana, di belakang kita ? Tiba-tiba ia tertangkap tangan menyimpan VCD porno atau narkoba. Polisi meminta kita menjemput anak kita karena baru saja terlibat tawuran. Gurunya tak habis pikir akan kelancarannya mengumbar kata-kata kotor. Sedangkan di sebuah mall anak kita yang lain asyik berpacaran dengan tema sekelasnya.

 

Ya, di rumah ternyata anak-anak kita menampilkan sisi “The Social Me” : Aku sebagaimana yang diharapkan oleh kedua orangtuaku. Sedangkan di luar sana mereka dengan bebas menampilkan “The Real Me” : Aku apa adanya. Mereka justru memakai topeng di dalam rumah. Karena rumah mereka adalah sebuah rumah moral.

 

Sebenarnya tak ada masalah dengan rumah moral, asal rumah tersebut menjadi dapur moral, bukan etalase moral. Dapur moral adalah tempat kita meracik dan memasak moral. Sedangkan etalase moral adalah tempat memajang dan menampilkan karya-karya moral. Di dapur moral realitas hadir apa adanya. Dan dapur selalu saja pengap, panas, kotor dan berantakan.

 

Masalahnya adalah, ikhlaskah kita sebagai orang tua berpengap-pengap, berpanas-panas, dan berkotor-kotor bersama perilaku anak-anak kita ? Bersediakah kita mengurut dada menyaksikan bahwa ternyata anak-anak kita memilih untuk membuang segala kekotorannya di dalam rumahnya sendiri ? Cukup tahankah kita melihat bahwa ternyata mereka saling bertengkar, mengumbar sumpah serapah, dan mengekspresikan naluri-naluri jahiliyah ? Cukup ridhakah kita bahwa kita terpaksa setiap hari mencuci daki-daki yang mereka bawa dari luar ?

 

Mungkin meletihkan sekali. Tapi ini adalah resiko dari posisi kita sebagai “Koki” : Letih mencuci, meramu dan memasak, namun tak ikut menikmati. Biarlah etalase itu ada di luar sana. Biarlah akhlaq anak-anak kita dinikmati oleh orang lain, bukan kita. Seharusnya penjara itu ada di luar rumah kita, tempat di mana anak-anak kita harus diikat dengan sejumlah peraturan dan etika. Sedangkan rumah kita adalah surga bagi mereka.

 

Jika kita ikhlas, maka Allah telah menyiapkan ganjaran yang besar

 

————————————————–

 

SERIAL OPTIMISTIC PARENTING VIII : Betapa banyaknya ilmu pendidikan yang telah Allah install di diri kita

 

Allah itu bukan Prima Causa : Mencipta lalu lepas tangan. Prima Causa adalah tuhannya Plato, bukan Tuhan kita. Dalam Islam, Allah itu hidup, peduli dan sibuk membantu kita dalam menghadapi kerumitan hidup ini. Sayangnya, gagasan Prima Causa masih sering menguasai bawah sadar kita. Kita menganggap Allah itu pasif : Dia hanya membalas do’a. Itupun jika Dia mau…

 

Tidak ! Allah itu aktif dan sangat berinisiatif. Wong Dia itu kreatif kok (Khaliq). Saat Dia mencipta makhluq-makhluqNya, segera Dia bekali petunjuk-petunjuk (hidayah) :

 

“Maha Sucilah Rabb-mu yang Maha Tinggi. Dialah Yang Maha Menciptakan dan menyempurnakan ciptaan-ciptaanNya. Dan Dialah Yang Menetapkan ukuran-ukuran dan memberikan petunjuk” (QS Al-A’la : 1 – 3)

 

Lalu, Allah menemani kita dalam setiap perjalanan hidup kita. Pada setiap jenjang perjalanan itu, selalu saja ada bekal minimal yang Dia intall. Itu tanpa kita minta-minta. Bekal minimal itu disebut ilham. Begitu Maha Penyayangnya Dia, sehingga ilham ini tetap Dia install walaupun terhadap orang-orang yang mengingkariNya :

 

“Dan demi jiwa serta penyempurnaannya. Maka dia mengilhamkan kepada jiwa itu jalan fujur dan jalan taqwa. Sungguh beruntunglah orang-orang yang mensucikannya. Dan merugilah orang-orang yang mengotorinya” (QS Asy-Syams : 7 – 10)

 

Tak cukup dengan hidayah dan ilham, maka Allah-pun senantiasa menemani dan membekali kita dengan hikmah yang Dia install pada moment-moment penting dalam perjalanan hidup kita. Saat kita menjadi dewasa, maka Allah install hikmah kedewasaan. Saat kita menjadi istri, maka Allah install program keistrian. Saat janin mulai tersimpan di rahim ibu, maka Allah-pun install-kan kesiapan menjadi seorang itu :

 

“Dia mengkaruniai hikmah kepada siapa yang Dia kehendaki. Dan barangsiapa yang dikaruniai hikmah maka dia telah dianugerahi kebaikan yang banyak. Dan tidaklah mengambil pelajaran kecuali ulul-albab” (QS Al-Baqarah : 269)

 

Masih belum yakin dengan potensi dan kapasitas kita untuk menjadi pendidik bagi anak-anak kita sendiri atas segala yang telah Allah install-kan ke dalam diri kita ? Baiklah, karena selain hidayah ilham dan hikmah, bahkan Allah-pun masih menambahkannya dengan ilmu. Gratis kok… :

 

“Dan Allah mengajarkan kepada Adam nama-nama semuanya…” (QS Al-Baqarah : 31)

 

“Dan bertaqwalah kepada Allah, Allah akan mengajari ilmu kepada kalian. Dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu” (QS. Al-Baqarah : 282)

 

Jadi, tanpa parenting-pun kita telah memiliki Parenthood. Mari kita percaya itu, lalu kita gali segala hal yang telah Allah install tersebut. Untuk lebih memperkaya dan mempertajam, mari kita stimulasi dengan sejumlah ilmu parenting.

 

—————————————————————-

SERIAL OPTIMISTIC PARENTING IX : Berikan hadiah atas niat baik, karena itu prestasi

 

Ini sebuah cerita lama, nun tahun 2000 silam

 

Tiba-tiba si Sulung pasang target : ingin lulus SD di posisi 5 besar. Ini mengejutkan karena dua hal : Pertama, karena kami tak pernah punya tradisi pasang target akademis; Kedua, karena si Sulung tak pernah punya ranking 5 besar. Si Sulung memang cerdas secara intelektual, tapi bukan secara akademis.

 

Entahlah, apakah kami memang kurang punya hasrat berprestasi, tapi yang jelas niat baik yang ditancapkan tentang target prestasi tertentu adalah sebuah surprise. Tiba-tiba kami merasa harus memberikan sebuah apresiasi, karena sebuah niat baik di sisi Allah telah berbuah pahala. Dan rasanya sebuah niat perlu diperkuat agar berkembang menjadi tekad. Apalagi kalau menjadi kenyataan.

 

Maka sayapun bertanya,”Apa hadiah yang kakak minta kalau kakak lulus ranking 5 besar ?”. Ternyata ia minta sepeda, merk Polygon.

 

Rasanya kami tak perlu menunggu hasil. Saya segera ke toko sepeda, mencari-cari merk Polygon. Akhirnya ketemu yang harganya cukup moderat, cocok untuk kantong kami. Segera saya bawa pulang, karena si Sulungpun akan segera pulang sekolah. Tak sulit ditebak, iapun terperangah : karena ujian masih 3 bulan lagi, karena ia belum lulus, karena ia belum terbukti 5 besar.

 

Tiga bulan kemudian…

 

Si Sulung lulus SD : Ranking 2 !!! Ranking nggak terlalu penting bagi kami, tapi wajib disyukuri. Setidak-tidaknya mensyukuri sebuah ikhtiar bahwa hadiah bisa saja diberikan sebelum prestasi terwujud : sebuah pre-achievement reward !!! Bahwa sebuah persekot atas prestasi akan membantu mewujudkan prestasi itu sendiri. Bahwa kita harus optimis dan berbaik sangka atas cita-cita seorang anak.

 

Tujuh tahun kemudian…

 

Kami membelikan anak ketiga kami sebuah HP Nokia terbaru. Itu untuk menghargai keinginannya ikut Olimpiade Matematika… Itu untuk menghargai tekadnya menolak ikut program karantina demi menang Olimpiade Matematika… Itu untuk menghargai hasil dari tekadnya : Gagal Total !!! Lalu, ia pun menangis terharu… (sampai kini HP itu masih terawat baik)

 

Syaratnya hanya satu : tetaplah optimis dan belajarlah tanpa pamrih. Boleh jadi, hadiah yang kita berikan setelah janji terbukti sebenarnya hanya membuktikan bahwa kita punya pamrih terhadap anak-anak kita. Sekali lagi : boleh jadi…

 

———————————————————– This Article is also available at http://emelci.or.id/groups/PendidikanParenting/OptimisticParenting/docs/serial-optimistic-parenting-series-i-ix

Tinggalkan komentar